Senin, 09 April 2012

[FIKSI] Ketika "kata" Cinta Menjadi Tak Berharga

Pada pertengahan Januari, di saat gemercik hujan membasahi rumput yg telah kering karena kejamnya terik mentari, aku mulai meraba dan selami makna mengapa aku di sini. Hari itu, aku melihat jasadku tersungkur lemah dalam bingkai jiwa yg begitu sepi dan ditemani basuhan air hujan yg seolah tenangkan aku. Aku bagai seorang anak bayi yg merengek meminta belaian dan air susu ibunya. Sungguh semua tanya yg t'lah ada membuatku tak kuasa berjalan di duniaku sekarang.

Indah tawamu mengalun merdu di telingaku dan meresap ke dalam sekat jiwaku yg perlahan tertutup. Kunyanyikan bait-bait lagu yg terdengar dari hati ini, ternyata bait lagu itu adalah bait lagu kerinduanku kepada sosok keindahan. Jemariku pun perlahan bergerak menuliskan sesuatu di hamparan tanah basah yg menjadi saksi kepedihan ku. "Rindu"... Kemudian ku tersadar dan bertanya,"Siapakah orang itu?"

Pikiran dan jiwa ini melayang dan tiba pada pembaringannya yg indah. Kulihat sosok perempuan yg sangat kukenal. Mungkinkah dia yg kurindukan? Kemudian hasrat ini membara ingin mengecup bibir tipis nan indah itu. Perlahan ku dekati dan dengan mesra, ruh ku mencumbui jasad perempuan yg tertidur itu. Aku membara dalam panas nafsu yg semakin lama semakin menyiksa. Sesaat jiwaku bergumam, "Bukan.. bukan dia yg kurindukan. Kecantikannya telah mempesonaku dan telah membawaku dalam pertarungan nafsuku". Kemudian jiwaku kembali ke jasadku yg menggigil dalam balutan hujan yang dingin.

Terdengar langkah kaki mendekatiku dalam indah tariannya bersama sang hujan dan perlahan aku melihat samar lalu gelap menjelma.

"Di mana aku?"

Kaget dan tersentak adalah gambaran jiwaku saat ini. Keindahan itu terbalut dalam busana yang sederhana. Mata sendu yang indah itu mengisyaratkan kehidupannya yang begitu nikmat bersama kehidupannya yang hampir tak punya apa-apa. Aku merasa seperti seorang pangeran dalam dongeng yang ditemukan tergeletak tak berdaya oleh seorang rakyat jelata yang begitu mempesona. Gubuk ini bagiku bagaikan sebuah istana megah dibandingkan rumahku yg hanya beralaskan tanah dan beratapkan hiasan langit wlaupun hujan kadang datang bermain bersamaku.

"Siapa kamu?"

Jawaban dari pertanyaanku hanya dijawabnya dengan senyuman. Dan dengan langkah yg begitu sempurna, dia datang kepadaku membawa segelas air dan semangkuk buah yang mungkin dia petik dari hutan. Kemudian perut ini berbicara melalui bahasanya bahwa lambung ini sedah trgigit rasa lapar. Dengan lahapnya aku memakan buah itu dan kuakhiri dengan tegukan air tawar yg dia ambil dari sungai namun bagiku bagaikan tetesan air yang diambil dari surga.

Aku berusaha bangun, tiba-tiba tangan yang lembut itu menahan tubuhku untuk tidak beranjak dari pembaringanku. Senyap menjelma karena dia tak pernah berkata sedikit pun tapi aku merasakan kesunyian itu begitu damai apabila bersamanya.

Hari demi hari yang kulalui bersamanya telah tersimpul menjadi hitungan minggu dan bahkan bulan. Dia habiskan waktu tanpa sepatah kata pun. Sikapnya yang begitu lembut merantai jasad dan jiwaku. Tak semenit pun yang ingin kulewatkan tanpanya. Kebiasaannya membuatku menyimpulkan bahwa bibirnya tidaklah bisu tapi ada sesuatu yang membuatnya bisu. Aku bertanya dan terus bertanya, siapakah namanya?

Seiring waktu yang berjalan, jiwa kami terpaut dalam bingkai kehidupan yg begitu romantis dalam ruang-ruang cinta. Kami saling melayani bak sepasang kekasih dan kami melaluinya bersama kebisuan yang indah..

Pagi itu aku terbangun dari lelapnya tidur dalam selimut malam. Mataku mencari sosok perempuan yang membuatku menghargai setiap desah nafas yang kuhembuskan dan setiap detik yang tersimpul menjadi hitungan masa. Tak seperti biasanya, dia tak lagi menyambutku dengan senyuman dan lembut tatapan matanya.

Aku pun bergumam dalam hati, "Di mana kah engkau kekasihku? Tidakkah aku berharga lagi? Apakah senyum itu bukan untukku lagi"?

Keramaian yang terasa dalam jiwaku sekejap menjelma sepi dan begitu senyap dan aku pun teriris pisau kepedihan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Duniaku seakan telah mati. Kutemukan dirinya terkapar di atas tanah basah karena hujan seperti saat dia menemukan jasadku yg perlahan memudar dari kehidupan. Tanganku meraih tubuhnya yang tak berdaya dan kuangkat dia ke dalam istana kami, biar dingin air hujan tidak membunuhnya dengan kejam. Kurebahkan tubuhnya, dan kulihat bibirnya perlahan bergerak ingin mengucapkan sesuatu...

Dia pun berbisik di telingaku, "Aku sangat mencintaimu".

Perlahan nafas dan detak kehidupannya berhenti. Aku pun terperanjat dalam kekosongan yang sangat lama dan sangat lama..

Aku pun kembali sendiri tapi sebenarnya aku adalah sebuah jasad tak bernyawa yang berjalan tak tentu arah. Jiwaku masih berada dalam kenangan masa lalu yang indah bersamanya. Hingga aku sampai pada tempat di mana ia menemukanku. Aku duduk tertegun dan terus berfikir mengapa dia tak pernah mengucapkan sepatah kata pun sampai nafas kehidupannya hampir habis?

Kemudian aku menyadari bahwa kata cinta itu hanyalah sekedar ungkapan tak bermakna yang mungkin hanya melahirkan kemunafikan demi sebuah tujuan yang tidaklah jelas dan wujud cinta itu adalah perbuatan cinta yang saling memuliakan.


Friday, 23 Jan '09
_.daengpoe._


http://www.kaskus.us/showthread.php?t=13797213

Tidak ada komentar:

Posting Komentar